Senin, 29 Juni 2009

citra kota surabaya

Mencari Citra Kota 

CITRA sebuah kota memang tidak hanya ditentukan oleh tampilan wajahnya. Bahkan tokoh cerita kota terkenal seperti Kevin Lynch dalam bukunya The Image of The City (1974) melihat ada delapan unsur kota yang menentukan citranya antara lain landmark, simpul-simpul, hingga urutan atau sikuen dan hubungan antar-elemen kota. Bagi manusia masa kini masih ada cara tertentu untuk menetapkan tampilannya yaitu yang disebut body language. Bagi kota, hal seperti ini juga berlaku. Lalu bagaimana dengan masalah tampilan atau citra Kota Surabaya? Sebelum mencari jawab atas pertanyaan ini, ada baiknya bila masalah kontekstual yang lebih luas dibahas lebih dahulu. Hanya dua aspek kontekstual yang hendak dibahas di sini, yaitu aspek peluang untuk bersaing dan wawasan warga. 
Diundangkannya UU Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 membuka peluang semua kota untuk bersaing maju. Ini berarti, peluang bagi Surabaya untuk tampil dan meraih kembali pamornya yang pernah dipunyainya pada awal abad ke-20 sebagai kota penting di Indonesia, sangat besar. Jakarta setelah tumbangnya Orde Baru berada dalam keadaan yang parah karena hilangnya peredaran uang dari 70 persen menjadi tidak lebih dari 30 persen, serta pemerintah pusat yang wewenangnya terbatas oleh pola otonomi daerah. Dibandingkan kota lain, Surabaya punya peluang yang paling besar meraih berbagai fungsi kekotaan yang hilang dari Jakarta. 
NAMUN, Surabaya tidak punya jaminan dapat begitu saja meraih kambali posisi menjadi kota yang diperhitungkan pemodal. Kota seperti Medan (Barat) dan Makassar (Timur) serta Bali menjadi pesaing berat. Tetapi, Surabaya memang mempunyai kelebihan. Yang segera harus dibenahi tentang aspek kekotaannya adalah memberikan pelayanan yang baik, kondisi fisik kota yang menarik, dan tetap menjaga kekhasannya. 
Kali ini dari tiga aspek kekotaan yang dikemukakan di atas, hanya aspek kondisi fisik kota yang hendak dibahas. Ini meliputi kerapian, daya tarik, dan ciri khasnya. 
Di samping Surabaya belum berhasil meraih kembali kejayaannya sebagai kota bersih dengan penghargaan nasional dan internasional, wajah Surabaya juga porak-poranda. Di samping soal kebersihan, arsitektur kota dan keamanan, yang paling merusak citra kota adalah kehadiran iklan-iklan di tempat publik yang bercita rasa rendah. 
Citra kota merupakan hubungan dua arah yang harmonis, antara yang dilihat dan yang melihat. Yang dapat dikendalikan oleh Pemkot adalah terbatas pada yang dilihat. Sedang wawasan atau cita-cita yang melihat punya syarat dan kemandirian yang tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah yang otoriter sekalipun. Cita rasa dan wawasan warga yang melihat iklan di papan reklame dipengaruhi oleh mental image atau cognitive image. Saat ini ada kesenjangan yang lebar antara apa yang dilihat oleh cognitive image-nya warga dengan apa yang disajikan dalam papan iklan tersebut. Dan mental serta cognitive seseorang ditentukan oleh wawasan dan pengetahuannya. Harus diakui bahwa wawasan warga Kota Surabaya berkembang lebih maju ketimbang yang ada di Pemkot.
Secara sederhana papan reklame yang ada di Surabaya menanggung tiga dosa moral. Karena letak, ukuran, dan tampilannya kebanyakan papan reklame mau menang sendiri, ini membuat Surabaya menjadi kota yang tidak punya karakter arsitektur karena terusik oleh pemandangan buruk yang disajikan oleh iklan di tempat publik. Kedua, bentuk, ukuran, letak serta isi iklan hanya menunjukkan betapa lemahnya dan tidak cerdasnya Pemkot yang tidak mampu dan tidak berhasil mengatur iklan di tempat publik. 
Dosa ketiga adalah letak iklan yang mengambil ruang terbuka hijau dan di tempat umum, serta mengganggu perhatian atau konsentrasi masyarakat saat berkendaraan di jalan umum oleh "teriakan" iklan yang sama sekali tidak merdu. Walaupun saat ini Pemkot sudah akan memilih konsultan untuk membina periklanan di tempat publik, namun pihak yang akan dipilih ternyata tidak independen, bahkan punya vested interest yang tinggi. Bagaimana dapat terjadi pertandingan sepak bola yang baik bila wasitnya ikut main? 
Yang barangkali perlu mendapat pertimbangan dan mengambil langkah proaktif adalah memulai gerakan masyarakat guna mendukung upaya Pemkot membenahi papan reklame dan berbagai iklan di tempat publik yang tidak etis dan estetis. Caranya cukup sederhana yaitu tidak membeli barang yang diiklankan pada papan reklame yang dijajakan di sepanjang jalan seputar Kaliasin dan Tunjungan. Ini tidak perlu biaya atau tenaga khusus dan semua mudah melakukannya. 
Yang perlu adalah kesungguhan dan kecintaan terhadap kota kita dan menyatakan bahwa warga Surabaya sudah tidak memberikan toleransi apa pun terhadap kehadiran berbagai iklan yang merugikan citra kotanya. Untuk jangka panjang, warga juga dapat membentuk sendiri semacam dewan yang memberi penilaian warga terhadap berbagai tampilan fisik yang berpengaruh terhadap citra Surabaya. Badan seperti ini tidak perlu menunggu sampai dibentuk oleh Pemkot dan juga tidak perlu minta izin. Membentuk semacam Hansip Fisik Kota oleh warganya sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan terhormat. Jadi tunggu apa lagi? 

(Prof Johan Silas, pengamat perkotaan). 

2 komentar:

  1. surabayaku yang malang kok tak koment dewe sech....

    BalasHapus
  2. hmmmmmmmm, mas bisa minta tolong,,cariin kondisi lingkungan hidup di kota surabaya donk..buat tugas sekolah ne
    makasih klo mw ngebantu
    jawabannya kirimin ke
    blogger : king_marsyha@yahoo.com
    Fb : king_marsyha@yahoo.com

    BalasHapus